𝗔𝗣𝗔𝗞𝗔𝗛 𝗔𝗗𝗔 𝗠𝗔𝗡𝗗𝗜 𝗪𝗜𝗟𝗔𝗗𝗔𝗛?
Saya pernah mendengar dari seorang ustazah kalau ada mandi besar setelah melahirkan & itu wajib dilaksanakan katanya tapi bukan mandi besar setelah nifas ustadz.
𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯𝗮𝗻
Oleh : KH. Ahmad Syahrin Thoriq
Kelihatannya ustadzah tersebut telah salah memahami sebuah penjelasan hukum yang mungkin beliau baca dari kitab bermazhab Syafi’i. Lagi-lagi ini hal mengingatkan kita akan pentingnya berburu ilmu dengan cara berguru, agar tidak mengalami gagal paham.
Memang ada permasalahan ditengah –tengah ulama yang cukup menjadi perdebatan sengit : Wiladah (melahirkan) itu mewajibkan mandi apa tidak. Ketika seorang wanita melahirkan dengan cara yang tidak biasa, yakni tanpa setetes darah nifaspun yang keluar, apakah ia wajib mandi ? Apakah bayi yang keluar tanpa adanya darah nifas itu mewajibkan si ibu mandi ?
Menurut jumhur ulama yakni dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah dan sebagian Hanabilah menyatakan bahwa keluarnya bayi meski tanpa darah wiladah mewajibkan mandi. Artinya, wanita yang mengalami hal seperti ini tidak sah shalatnya sampai ia mandi wajib.[1]
Al imam Ibnu Nujaim al Hanafi rahimahullah berkata :
أنها لو ولدت ولم تر دما لا تكون نفساء، ثم يجب الغسل عند أبي حنيفة احتياطا؛ لأن الولادة لا تخلوا ظاهرا عن قليل دم
“Bahwa jika seorang wanita melahirkan namun tidak melihat darah, maka ia tidak dihukumi sebagai wanita nifas, namun tetap wajib mandi menurut Abu Hanifah sebagai bentuk kehati-hatian, karena secara lahiriah proses kelahiran hampir tidak pernah lepas dari sedikit darah.”[2]
Syaikhul Islam al imam Zakariya al Anshari rahimahullah berkata :
موجبه..... خروج ولد ولو علقة ومضغة و بلا بلل؛ لأنه مني منعقد، ولأنه لا يخلو عن بلل غالبًا، فأقيم مقامه كالنوم مع الخارج، وتفطر به المرأة على الأصح في التحقيق وغيره
“Sebab wajibnya (mandi) adalah keluarnya bayi, meskipun hanya berupa segumpal darah atau segumpal daging, dan meskipun tanpa disertai cairan, karena bayi terbentuk dari air mani yang telah mengental, dan karena umumnya proses kelahiran tidak lepas dari adanya cairan.
Maka hal itu diposisikan seperti tidur yang disertai kemungkinan keluarnya sesuatu, dan wanita yang melahirkan dalam keadaan demikian batal puasanya menurut pendapat yang paling sahih dalam penelitian dan lainnya.”[3]
Berkata Syeikh Dr Mustafa al-Bugha seorang ulama mazhab Syafi'i “Dimungkinkan berlaku kelahiran tanpa diikuti dengan keluarnya darah. Maka hukumnya ketika itu sama seperti hukum janabah (yakni hukum keluarnya mani iaitu wajib mandi) karena bayi adalah hasil percampuran dari air mani lelaki dan air mani wanita.”[4]
𝗔𝗹𝗮𝘀𝗮𝗻 𝗸𝗮𝗹𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝘄𝗮𝗷𝗶𝗯𝗸𝗮𝗻 𝗺𝗮𝗻𝗱𝗶
1. Kelahiran tanpa darah umumnya menjadi indikasi akan adanya darah, maka hukum dikaitkan dengan indikasi tersebut, sebagaimana tidur membatalkan wudhu karena menjadi indikasi keluarnya hadats. Begitu pula seperti kewajiban mandi karena bertemunya dua kemaluan meski tidak terjadi keluarnya mani.[5]
2. Jika keluarnya mani (sebagai asal penciptaan bayi) mewajibkan mandi, maka keluarnya bayi sendiri lebih utama untuk mewajibkan mandi.[6]
3. Secara kebiasaan, kelahiran jarang sekali terjadi tanpa ada sedikit darah.[7]
4. Kewajiban mandi didasarkan pada pemberlakuan hukum terhadap kondisi umum, bukan pada kondisi langka; sebagaimana nifas merupakan keluarnya darah dari rahim, maka keluarnya bayi juga dijadikan patokan untuk mandi.[8]
Sedangkan pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Hanbali menyatakan bahwa keluarnya bayi tidak mewajibkan mandi, yang mewajibkan adalah keluarnya darah nifas. Sehingga seorang wanita yang melahirkan tanpa ada darah, tetap sah jika langsung menunaikan shalat.
Berkata Imam Ibnu Qudamah :
الصحيح؛ فإن الوجوب بالشرع، ولم يرد بالغسل ههنا، ولا هو في معنى المنصوص، فإنه ليس بدم ولا منى؛ وإنما ورد الشرع بالإيجاب بهذين الشيئين
“Pendapat yang kuat (ialah tidak wajib mandi atas wanita dengan sebab wiladah). Karena suatu kewajiban hanya bisa ditetapkan dengan adanya dalil syara’.Sedangkan dalam masalah wiladah ini tidak ada nas yang mewajibkan mandi. Hal ini karena bayi yang dilahirkan bukanlah darah dan bukan juga mani, sedangkan yang terdapat di dalam perkara yang mewajibkan mandi ialah dua sebab tersebut (darah dan keluar mani).”[9]
𝗔𝗹𝗮𝘀𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗺𝗲𝘄𝗮𝗷𝗶𝗯𝗸𝗮𝗻 𝗺𝗮𝗻𝗱𝗶
1. Kewajiban itu datang dari syariat, dan syariat hanya mewajibkan mandi atas wanita nifas. Wanita yang melahirkan tanpa darah tidak termasuk dalam kategori nifas, karena nifas ditandai dengan keluarnya darah yang menyebabkan wajib mandi, sedangkan hal itu tidak terjadi pada wanita ini.[10]
2. Mandi disyariatkan karena keluarnya darah, bukan karena keluarnya bayi. Jika ia mandi hanya karena melahirkan, bukan karena darah, maka mandinya tidak sah.[11]
Telah terang bukan ? Adapun dalam kasus yang umum dimana wanita melahirkan dan kemudian mengalami masa nifas, maka ulama sepakat bahwa mandi wajib dikerjakan setelah selesainya nifasnya. Tidak ada kewajiban mandi setelah melahirkan.
Bukankah tujuan mandi besar itu mengangkat hadats ? Terus apanya yang mau diangkat kalau kondisi masih nifas ?
𝗞𝗲𝘀𝗶𝗺𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻
1. Melahirkan tanpa nifas, ada kewajiban mandi setelah melahirkan menurut Jumhur ulama, tidak menurut sebagian Hanabilah.
2. Melahirkan dengan nifas, kewajiban mandi setelah selesai nifas menurut kesepakatan ulama.
Wallahu a’lam.
____________
[1] Tabyin al Haqaiq (1/86), Syarah asy Shaghir (1/166), Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (2/168), al Mughni (1/154)
[2] Bahru ar Raiq (1/229)
[3] Asna Mathalib (1/64)
[4] Fiqih al Manhaji (1/82).
[5] Nihayatul Muhtaj (1/413)
[6] al Washit fil Madzhab (1/373)
[7] Fath al Qadir (1/186)
[8] Syarh Mukhtashar Khalil (1/165)
[9] Al Mughni (1/165).
[10] Al Mughni (1/252)
[11] Syarh Mukhtashar Khalil (1/165)
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
