Makna Wujud Dalam Istilah Para Sufi; Sebuah Titik Awal Memahami Istilah Wahdatul Wujud
Wujud dalam pengertian umum adalah ada. Kita semua ada, Tuhan ada, jin ada, malaikat ada, dunia ini ada, akhirat ada dan seterusnya. Ini adalah pengertian umum dalam semua bidang ilmu atau pun penggunaan sehari-hari.
Namun, perlu diketahui bahwa dalam istilah kitab tasawuf, kata “wujud” tidak digunakan dalam makna umum tersebut. Mereka, para ulama sufi, mempunyai peristilahan yang khusus dipakai di internal mereka, salah satunya adalah istilah “wujud” ini. Dalam khazanah tasawuf, kata “wujud” secara khusus hanya dipakai untuk menunjuk kepada Dzat yang wajibul wujud atau sosok yang keberadaannya bersifat pasti tanpa bisa dibayangkan bahwa dia tidak ada. Dzat yang wajibul wujud tentu hanya Allah sendiri sebab selain Allah hanyalah mumkinul wujud.
Kata wujud kadang disebut juga dengan istilah wujud mutlak, al-maujud atau wajibul wujud. Ini semua sama artinya dalam Khazanah tasawuf. Yang dimaksud adalah Allah saja.
Syaikh al-Kurani berkata dalam kitabnya sebagai berikut:
لِأَنَّ مَبدَأَ المَوجُودَاتِ وَاجِبُ الوُجُودِ بِالضَّرُورَةِ وَوَاجِبُ الوُجُودِ هُوَ الوُجُودُ المُطلَقُ بِالإِطلَاقِ الحَقِيقِيِّ المُتَعَيِّنِ لِذَاتِهِ المَوجُودَ لِذَاتِهِ، الجَامِعِ لِكُلِّ كَمَالٍ لِذَاتِهِ، لِأَنَّ غَيرَ الوُجُودِ بِهَذَا المَعنَى مُحتَاجٌ إِلَى الوُجُودِ بِهَذَا المَعنَى. وَالإِحتِيَاجُ يُنَافِي الوُجُوبَ، فَتَعَيَّنَ أَن يَكُونَ مَبدَأُ المَوجُودَاتِ هُوَ الوُجُودَ بِهَذَا المَعنَى، وَهُوَ الوَاجِبُ الوُجُودِ فِي الخَارِجِ لِذَاتِهِ وَهُوَ المَطلُوبُ.
"Karena awal dari segala yang ada adalah Dzat yang pasti ada secara niscaya (wajibul wujud) dan yang pasti ada secara niscaya ini adalah wujud mutlak dengan pengertian yang sebenarnya, yang menentukan wujud pada dirinya sendiri untuk dirinya sendiri, yang mengumpulkan segala kesempurnaan untuk dirinya sendiri, karena objek selain wujud dalam arti mutlak ini butuh pada wujud dalam arti mutlak ini. Dan adanya kebutuhan meniadakan adanya kepastian untuk ada, maka hanya satu pilihan yang ada, yaitu bahwa awal segala sesuatu yang ada adalah wujud mutlak dalam makna ini, dan itulah yang dicari.” (al-Kurani, al-Maslak al-Jali fi Hukmi Syathi al-Waliyy, 37-38)
Kemudian dia menegaskan kembali:
نقول في الوجود إنه يطلق عليه تعالى بمعنى يليق بجلالته تعالى كمعنى الوجود الواجب الوجود
“Kami berkata tentang istilah wujud bahwa ia diucapkan secara mutlak untuk Allah Ta’ala dengan makna yang sesuai dengan keagungan-Nya, seperti makna wujud adalah wajibul wujud”. (al-Kurani, al-Maslak al-Jali fi Hukmi Syathi al-Waliyy, 41)
Jadi, bila dalam pernyataan para sufi ada ungkapan “yang wujud hanya Allah”, maknanya tidak lain dan tidak bukan adalah: Yang bersifat wajibul wujud (keberadaannya niscaya) hanya Allah saja. Ungkapan tersebut adalah ungkapan tauhid sebab memang selain Allah hanya mumkinul wujud (wujud potensial), yakni sesuatu yang keberadaannya dimulai dari ketiadaan dan baru bisa ada ketika Allah menghendakinya. Salah besar kalau ada yang menyangka bahwa ungkapan ini bermakna wahdatul wujud dalam arti segala sesuatu di dunia ini adalah wujud Allah.
Pertanyaannya, kalau yang wujud hanya Allah, maka apakah kita semua tidak disebut wujud? Dalam perspektif sufi, kita semua ini tetap “wujud” tapi dalam tanda kutip. Syaikh Ibnu Arabi menjelaskan:
وقد ثبت عند المحققين أنه ما في الوجود إلا الله، ونحن وإن كنا موجودين فإنما كان وجودنا به. فمن كان وجوده بغيره فهو في حكم العدم
“Dan telah valid menurut para muhaqqiqin (ulama peneliti) bahwa tidak ada di dalam wujud selain Allah. Dan kita, meskipun kita semua wujud namun wujud kita adalah dengan wujud-Nya. Siapa pun yang wujudnya masih tergantung pada pihak lain, maka ia dihukumi tidak ada." (Ibnu Arabi, Al-Futuhat Al-Makkiyyah, I, 363).
Jadi, kita semua dan semesta makhluk ini memang bisa disebut wujud (maujudin), tapi keberadaan semua makhluk hanya keberadaan dalam arti majas. Hakikatnya, wujud semua makhluk dianggap sama seperti tidak ada sebab wujudnya sepenuhnya bergantung pada kehendak Allah Sang Wujud sejati. Selama Allah menginginkan makhluk berwujud, maka terwujudlah makhluk itu dan bila Allah menghendaki makhluk tidak wujud, maka hilanglah wujudnya. Lagi-lagi, ini ungkapan tauhid.
Senada dengan itu, Syaikh al-Burhanpuri menegaskan bahwa yang dimaksud dengan al-wujud (Sang Wujud) tidak bisa dijangkau dengan panca indera atau pun akal sehingga manusia, jin, malaikat, alam semesta sama sekali tidak termasuk dalam istilah ini:
واعلموا أن ذلك الوجود من حيث الكنه لا ينكشف لإحد ولا يدركه العقل ولا الوهم ولا الحواس
“Ketahuilah bahwa Sang Wujud itu dari segi hakikatnya tidaklah dapat tampak oleh siapa pun, tidak dapat dijangkau akal, imajinasi atau pun indera”. (Muhammad al-Bunhanpuri, al-Haqiqah al-Muwafiqah li asy-Syari’ah, 31)
Untuk memudahkan, bila dibandingkan dengan istilah ilmu kalam, wujud Allah disebut “wajibul wujud” sedangkan dalam ilmu tasawuf disebut “wujud” saja tanpa embel-embel. Sedangkan wujud makhluk dalam istilah ilmu kalam disebut “mumkinul wujud” dan disebut “wujud fi hukmil ‘adam” atau langsung disebut sebagai “al-‘adam” (tidak ada) dalam ilmu tasawuf. Sebagai analogi untuk memudahkan, Anda bisa melihat apakah sosok manusia yang Anda lihat dalam cermin disebut ada atau tidak? Mutakallim akan menyebutnya ada (wujud) dalam bentuk bayangan/pantulan cahaya sedangkan Sufi akan menyebutnya tidak ada (tidak wujud) sebab itu bukan sosok manusia. Perbedaannya hanya masalah penggunaan istilah akibat perbedaan sudut pandang.
Dari titik ini kita bisa tahu bahwa istilah “wahdatul wujud” (kesatuan wujud) makna aslinya menurut para Imam Tasawuf adalah yang disebut wujud hanya ada satu saja, yaitu Allah. Maksudnya, yang wajibul wujud hanya Allah saja tidak ada yang lain. Saya merasa perlu mengulangi poin ini berkali-kali sebab sering disalahpahami.
Maknanya sama sekali bukan seperti yang dipahami oleh orang-orang bodoh yang sok makrifat, sok wali dan sok sufi, bahwa semua yang ada di semesta ini, berupa manusia, jin, malaikat, tumbuhan dan seterusnya adalah satu esensi yang sama yakni Allah, apalagi sampai mengaku bahwa dirinya Allah atau semua hal adalah Allah dengan mengira bahwa ini adalah wahdatul wujud yang dimaksud dalam tasawuf. Pemaknaan semacam ini bukan hanya bodoh tapi kekafiran yang jelas diingkari dalam ilmu tasawuf. Para Imam Tasawuf tahu betul bahwa yang qadim dan yang huduts adalah dua hal yang sangat berbeda tidak mungkin menyatu atau dianggap satu kesatuan.
Syaikh Ibnu Arabi, sebagaimana dikutip oleh al-Kurani, berkata:
وهذا يدلك على أن العالم ما هو عين الحق ... إذ لو كان عين الحق ما صح كونه تعالى بديعا
“Hal ini menunjukkan padamu bahwa alam semesta bukanlah hakikat Allah… sebab apabila alam adalah hakikat Allah, maka tidak akan benar status-Nya sebagai Pencipta Alam dari tiada”. (al-Kurani, al-Maslak al-Jali fi Hukmi Syathi al-Waliyy, 46)
Sebab itu, pengkritik konsep wahdatul wujud yang objektif akan mengakui bahwa istilah wahdatul wujud dalam arti sebagaimana di atas bukanlah sesuatu yang bermasalah. Syaikh Musthafa Shabri misalnya, ia berkata:
ولنظرية وحدة الوجود تفسير معقول بمعنى اعتبار وجود الممكنات بمنزلة العدم بالنسبة الى وجود واجب الوجود فيكون الموجود واحداً وما عداه وجوده كالعدم لعدم كون الوجود ضروريا له واحتياجه الى موجد يوجده ويبقيه ونحن نعترف بوحدة الوجود بهذا المعنى
“Bagi konsep wahdatul wujud ada penafsiran yang rasional dalam makna menganggap wujudnya seluruh mumkinat (makhluk) di posisi tidak wujud bila dibandingkan dengan wujudnya wajibul wujud, maka yang wujud hanya satu dan wujud selainnya sama seperti tidak ada sebab wujudnya tidak niscaya dan masih butuh pihak lain yang membuatnya ada dan mempertahankan keberadaannya. Kami mengakui wahdatul wujud dengan makna ini.” (Musthafa Shabri, Mauqiful Basyar, 233)
baca juga : Hulul dan Ittihad
Semoga bermanfaat
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad
