Merasa Jadi Mujtahid

Merasa Jadi Mujtahid

Merasa Jadi Mujtahid

Ada satu penyakit yang sering hinggap pada thalibul ilm. Kadang ketika membaca kitab-kitab ulama kita sering terjebak dengan perdebatan mereka, lalu melihat ikhtiyarat mereka, kita takjub, dan merasa memahami mereka, bahkan merasa bisa seperti mereka yang mampu mengistidlal(berdalil), lalu mentarjih, dan mempunyai ikhtiyarat(pilihan) pribadi dalam sebuah masalah secara istiqlal(independen). 

Tapi kita lupa mereka mujtahid, kita bukan. Lalu datang sebuah penyakit yang membuat kita merasa kita juga sama seperti mereka, kita mulai berijtihad sendiri dan mentarjih sendiri, dan menganggap tarjih kitalah sebagai agama yang harus disampaikan. Alasannya "kebenaran" lebih berhak diikuti, padahal alat kita masih kurang, hanya kepedean. Dan itu banyak terjadi di era ini, terutama era ilmu islam diajarkan dikampus, membuat orang berani melanggar hal-hal yang dipegang akabir

Kenapa? Dulu yang belajar agama mesti bermujalasah pada akabir, sehingga mengetahui bagaimana nilai akabir, karena melihatnya langsung, sehingga dia tau jarak antara dia dan akabir, sekarang tidak, makanya mereka dengan mudah berbeda pendapat dengan akabir. Dulu mereka diajarkan akabir, ga cuma ilmu, tapi bagaimana menghormati akabir, apalagi para imam, makanya sangat sulit bagi mereka berbeda pendapat dengan imam. 

Mereka bukan ga beda pendapat sama sekali, tapi berhati-hati sekali, karena sadar perbedaan level nalar, dan saat sudah mencapai level tertentu, dan para akabir pada masanya sudah melihat dia pantas untuk itu, baru mereka berani melakukan ikhtiyarat, walaupun dengan sangat hati-hati. Sekarang aturan itu ga berlaku lagi, makin banyak orang yang ga mujalasah akabir, makin banyak orang yang mencukupkan diri dengan membaca, atau sekedar dengar rekaman, makin banyak orang yang merasa diri sejajar dengan akabir. Maka dari itu, hampir disemua ilmu, mudah saja bagi seorang untuk mukhalafah akabir, mukhalafah jumhur, bahkan mukhalafah ijma. 

Dalam hadis mereka dengan mudah melakukan tashih dan tadhif walau berbeda dengan jamaah umat islam, sebagian baru s1, sudah pede melakukan hal yang mana para imam saja ga pede melakukannya, mereka menganggap dengan belajar dasar ilmu hadis lalu duduk dipustaka membuat mereka menjadi mujtahid dalam hadis, ini penyakit berat. Sungguh mereka belum pernah merasakan ilmu akabir, kecuali hanya melihatnya saja

Dalam ilmu fikih mereka dengan pede melakukan ijtihad pada masalah yang seandainya imam bajuri masih hidup akan berfikir sangat lama untuk mendapat kesimpulan, atau berani mentarjih antara pendapat para imam dan merasa memahami kelemahan para imam, dan lebih gila diantara mereka ada yang pede melanggar ijma, bukan hanya jumhur, dan dengan pede mengatakan itulah tajdid. Dan menganggap berbeda pendapat dengan para imam seperti berbeda pendapat dengan tetangga rumahnya. 

Dalam tasawuf mereka pede untuk membuat tareqat baru, dan merasa mampu untuk itu semua, padahal dulu, hanya beberapa saja yang berani berijtihad diwilayah itu, makanya mudah saja membuat tariqat baru, bentar lagi ada tariqat fesbukiyah kali ya. atau banyak yang menganggap remeh kasyaf ahlillah dan menganggap tidak ilmiyah, padahal ahlillah yang mendapat kasyaf demikian adalah jumhur, bahkan berada dilevel ijma, tapi ada yang hanya mengetahui kulit tasawuf merasa lebih ilmiyah, kadang merasa sudah jadi ghaust, dengan mudah melanggar itu semua

Dalam ilmu aqidah juga banyak yang merasa sudah mujtahid, dengan menganggap pendapat para imam terdahulu sebagai orang yang tidak banyak bacaannya, atau belum membaca, dll, dan merasa dirinya sudah bajyak baca, sudah ahli ijtihad dalam mentarjih pendapat para ulama, bahkan tak jarang menyesatkan atau membid'ahkan pendapat para imam yang berabad-abad dianggap muktabar, hanya karena beda dengan hasil tarjihnya, dan setelah itu isi kajiannya mentahzir aja, karena merasa dialah batman yang akan menghancurkan ajaran sesat, dan melihat ulama yang pendapatnya marjuh sebagai joker yang harus dimusuhi. 

Dan begitulah yang terjadi juga dalam ilmu lainnya, seperti ilmu nasab, sirah nabawiyah, tarikh, dll. Semuanya lahir dari rahim yang sama, pendidikan islam yang terbentuk dengan sistem modern!!. Baik formal atau informal yang terkena dampak. Aku tau banyak yang menganggap aku jumud dengan pendapat ini, tapi ini fenomena yang akan membuat orang-orang kehilangan rujukan ilmiyah, dan mulai mengikuti sufaha(orang bodoh), karena yang mengajarinya adalah sikap thalibul ilm tadi.

Efeknya mengubah standar kebenaran, yang mana itu menjadi siapa yang lebih bagus narasi, bukan lagi spesialisasi ilmu. Itu yang terjadi, akhirnya adu-adu bagus konten, katanya biar ilmu sampai ke awam. Anehnya ketika ada awam yang mengkritik kita atau tarjihan kita, kita kesal karena menganggap dia tidak paham apa yang dikritik, padahal itu adalah sikap yang sama yang kita ajarkan pada mereka, wallahi para imam dan akabir kalau melihat bagaimana tarjihan dan kritikan kita, mereka akan melihat kita sepetti kita melihat awam, apa yang dia katakan, dia tidak paham apa yang dikatakan, itulah faktanya!!

Jadi bukan jumud, tapi tabiat agama memang diwariskan melalui para imam dan akabir, ya mau gimana lagi, agama ini memang agama yang dinukilkan, makin mirip dengan sumber nukilan dan ga banyak perbedaan dan ikhtilaf degan mereka makin bagus, maka dari itu tokoh jadi sangat penting dalam agama kita, kita belajar hanya untuk memahami bagaimana mereka memahami agama,.oh kalau ternyata suatu saat bisa seperti merrka Alhamdulillah, tapi sepanjang sejarah yang berada dilevel itu memang ga banyak, selalu terbatas, ga usah terlalu pede. 

Apakah aku tidak mengikuti pendapat yang lemah menurut ulama? Kadang aku ikut, tapi dengan satu syarat, aku jujur mengatakan bahwa pendapat yang aku ikuti itu adalah pendapat lemah menurut mayortias ulama, aku melihatnya kuat, tapi itu untukku pribadi, adapun yang kuat tetap pendapat jumhur. Misalnya hukum beberapa alat musik. Atau hukum mengucapkan selamat untuk hari besar agama lain, dll. Aku akan jujur mengatakan pendapat jumhur adalah sebaliknya, dan aku taklid pada pendapat minoritas ulama, walau menurutku benar. Jadi aku ga menipu awam dengan pilihanku. Apalagi melakukan amar makruf nahi munkar untuk masalah seperti ini. Aku cuma muqalid salah satu pendapat, dan aku tau diri.

Aku jadi ingat tentang syeikh badrudin alhasany, dimana beliau merasa diri bukan siapa-siapa, padahal beliau melahirkan gurunya para mufti hanafi, syeikh salih farfur, dll. Melahirkan gurunya para mufti hanbali, syeikh ahmad syami, dll. Melahirkan gurunya para mufti maliki, syeikh abdul hayy kattany, dll. Melahirkan gurunya para mufti syeikh hasan habannakeh, dll. Namun ketika dimintai fatwa beliau akan mengarahkan pada ulama lain atau pada kitab, kalau ditanya tentag mazhabnya, beliau mengatakan bahwa "wahai anakku, kita ini cuma awam". Begitulah sikap para akabir. Wallahualam 

Sumber FB Ustadz Fauzan Inzhagi

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Merasa Jadi Mujtahid - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®