Hadits Nomor Berapa?
Rasanya keren banget kalau mengutip sebuah hadits juga disebutkan nomornya.
Padahal sebenarnya nomor-nomor pada kitab hadits seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim bukanlah dari muhaddits (Imam Bukhari dan Imam Muslim) secara langsung.
Penomoran hadits adalah hasil kerja para muhaqqiq (peneliti/editor) dan penerbit di kemudian hari.
Ketika Imam Bukhari dan Imam Muslim menyusun kitab Shahih mereka, mereka tidak memberikan penomoran pada hadits.
Kitab-kitab hadits pada masa itu umumnya hanya terdiri dari bab-bab dan hadits-hadits di dalamnya tanpa nomor urut.
Penomoran hadits baru diperkenalkan oleh para ulama dan peneliti hadits di masa-masa selanjutnya dengan tujuan untuk memudahkan perujukan, pencarian, dan pengorganisasian hadits.
Karena penomoran ini adalah hasil ijtihad para muhaqqiq dan penerbit yang berbeda, maka seringkali kita menemukan perbedaan nomor hadits antara satu edisi kitab Shahih Bukhari atau Shahih Muslim dengan edisi lainnya.
Ada beberapa metode penomoran yang populer digunakan, di antaranya adalah penomoran Fuad Abdul Baqi (sering digunakan dalam kitab Fath al-Bari untuk Shahih Bukhari dan Syarh Shahih Muslim untuk Shahih Muslim) dan penomoran al-Alamiyah.
Jadi, ketika Anda melihat nomor pada hadits di Shahih Bukhari atau Shahih Muslim, ketahuilah bahwa nomor tersebut adalah hasil kerja para ulama setelah Imam Bukhari dan Imam Muslim wafat, dan tujuannya adalah untuk memudahkan studi hadits. Perbedaan penomoran antar edisi adalah hal yang wajar.
***
Demikian juga dengan nomor halaman dan pembagian jilid pada kitab-kitab hadits, termasuk Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, juga merupakan hasil kerja muhaqqiq dan penerbit, bukan dari penulis kitab aslinya.
Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak membagi kitab mereka ke dalam jilid-jilid atau memberikan nomor halaman. Bentuk kitab pada masa itu lebih berupa kumpulan bab-bab tanpa penanda halaman atau jilid yang seragam.
Pembagian jilid dan pemberian nomor halaman dilakukan di kemudian hari untuk memudahkan pembaca dalam membaca, mencari informasi, dan merujuk pada bagian tertentu dari kitab. Dengan adanya nomor halaman dan pembagian jilid, proses studi dan diskusi hadits menjadi lebih efisien.
Sama seperti penomoran hadits, pembagian jilid dan penomoran halaman bisa sangat bervariasi antar edisi dan penerbit yang berbeda. Faktor-faktor seperti format buku, ukuran huruf, dan tata letak halaman mempengaruhi jumlah halaman per jilid dan total jilid dalam satu set kitab.
Anda bisa menemukan edisi Shahih Bukhari yang terdiri dari beberapa jilid (misalnya 3, 5, 8, atau bahkan lebih), dengan jumlah halaman yang berbeda-beda di setiap jilidnya, tergantung pada penerbitnya. Hal yang sama berlaku untuk Shahih Muslim.
Kesimpulannya: Ketika Anda melihat informasi mengenai jilid dan halaman pada kitab hadits, ingatlah bahwa itu adalah informasi tambahan yang diberikan oleh muhaqqiq dan penerbit untuk membantu pembaca.
Informasi ini bisa berbeda-beda tergantung pada edisi kitab yang Anda gunakan. Oleh karena itu, ketika merujuk pada suatu hadits, penting untuk tidak hanya menyebutkan nomor hadits (dengan menyebutkan versi penomoran yang digunakan jika perlu), tetapi juga informasi spesifik mengenai edisi kitab (penerbit dan tahun terbit) jika ingin merujuk pada halaman atau jilid tertentu.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
