KETIKA KUNCI UTAMA DITINGGALKAN
Sore tadi, aku berkunjung ke sebuah rumah di pelosok desa. Maksud hatiku bertakziah, tetapi tanpa kusangka, aku justru menjadi tempat curahan hati warga di sana yang sudah lama mengenalku.
Seorang ibu paruh baya, dengan suara yang sarat luka, bercerita betapa rindunya ia pada masa mudanya, masa-masa ketika ia masih remaja. "Dulu, ujiannya tak seberat ini," lirihnya. Kini, setelah menikah, hidupnya seperti ladang derita. Suami yang berselingkuh, nafkah yang tak pernah diberikan, dan KDRT yang menjadi makanan sehari-hari. "Saya sudah cari solusi ke mana-mana, Ning" katanya. "Minta nasihat ke saudara, curhat ke tetangga, berkeluh kesah ke teman. Bahkan, saya sudah coba guna-guna, minta orang pintar supaya suami saya kembali baik, kembali ke jalan yang benar."
Belum usai ceritanya, seorang ibu muda menyambung. Kisahnya tak kalah pelik. Hidup dalam rumah tangga yang dihimpit ketidaknyamanan, di antara suami yang tak berpihak dan mertua yang tak pernah bersahabat. "Sudah semua cara sayalakukan, Ning " ujarnya. "Saya menangis, mengiba, berharap, tapi tak pernah mendapat titik damai di rumah kami."
Lalu, ada lagi bercerita tentang saudaranya yang telah bertahun-tahun menikah, tetapi belum juga dikaruniai anak. Yang hingga kini, pikirannya dipenuhi kebimbangan, bahkan nyaris memilih perceraian sebagai jalan keluar. "Mereka sudah ke dokter, sudah mencoba pengobatan alternatif, sudah minum segala macam ramuan. Sampai ke dukun pun sudah didatangi. Tapi tetap saja, tak ada hasil."
Percakapan semakin panjang, satu sama lain menimpali. Semua merasa sudah berusaha sekuat tenaga. Semua merasa sudah mencari jalan keluar. Namun, di tengah perbincangan itu, aku bertanya:
"Lalu, bagaimana dengan meminta jalan keluar kepada Allah?"
Mereka terdiam. Ada yang ragu-ragu menjawab, ada pula yang buru-buru berkata, "Kami shalat, kami tarawih, Ning"
Aku mengangguk. "Benar, kalian shalat. Tapi, apakah kalian benar-benar meminta? Benar-benar merintih? Benar-benar mengemis kepadaNya?"
Suasana menjadi hening. Mereka saling bertatapan, saling melirik satu sama lain.
Aku melanjutkan, "Tadi kalian bilang, semua cara sudah dilakukan. Segala upaya sudah dikerahkan, tapi ternyata, ada satu yang kalian lewatkan, kunci utamanya kalian tinggalkan. Bagaimana bisa kalian berkata semua sudah dilakukan, sementara kalian lupa meminta kepada Yang Maha Memberi jalan keluar?"
Mereka tertunduk. Wajah-wajah lelah itu seakan menemukan sesuatu yang selama ini hilang.
"Meminta kepada Allah itu tidak sulit," lanjutku. "Tak mengapa meski tidak berbahasa arab, tak mengapa juga meski tanpa rangkaian doa yang panjang. Gunakan bahasa kalian sendiri. Jika setiap hari kalian bicara dalam bahasa Madura, maka berdoalah dengan bahasa Madura yang paling tulus. Tengadahkan tangan, ucapkan basmalah, lalu ceritakan segalanya kepadaNya. Seperti saat kalian curhat kepadaku tadi, tetapi bedanya, kepada Allah itu kita bukan hanya bercerita, tapi juga meminta, mengemis, dan merendahkan diri sepenuh hati."
Salah seorang dari mereka mengangkat wajahnya. "Hanya begitu saja, Ning?"
Aku tersenyum. "Iya. Sama seperti kalian bertanya solusi kepadaku, kepada seorang kiai, atau kepada siapa pun. Bedanya, kepada Allah, kita datang dengan hati yang lebih hina, lebih berharap, lebih bersandar. Apalagi sekarang momentumnya sangat tepat. Mumpung Ramadan, bulan di mana insyaAllah doa-doa kita tidak akan tertolak. Bulan di mana Allah membuka seluas-luasnya pintu pengampunan dan seluas-luasnya pintu rahmat."
Mereka terdiam lagi. Namun kali ini, aku melihat sesuatu di mata mereka seperti seseorang yang baru saja menemukan jalan pulang.
Dan di sinilah terbesit kembali dalam benakku.
Inilah pentingnya mengaji. Bukan semata-mata untuk menambah wawasan, tapi agar kita tahu bagaimana cara menghadapi hidup. Agar kita tahu bagaimana seharusnya menghadap Tuhan. Agar kita tidak merasa sudah melakukan segalanya, padahal justru kunci utamanya belum kita sentuh.
Sungguh beruntung orang-orang yang diberi kesempatan untuk mengaji. Sebab, sebagaimana sabda Nabi, barang siapa yang Allah kehendaki menjadi orang yang baik, maka Allah akan pahamkan dia tentang agama.
Sore tadi, aku tahu satu satu hal: betapa seringnya manusia berlari ke mana-mana, mencari jawaban ke segala arah, namun lupa bahwa jawaban sejati selalu ada di tempat yang paling dekat, yaitu di hadapan Allah.
Sumber FB Ustadzah : Wilda Wahab