Allah Tidak Punya Emosi
Ahlussunnah Wal Jamaah (Asy'ariyah-Maturidiyah) menekankan bahwa Allah tidak mempunyai emosi. Yang dimaksud emosi di sini adalah perubahan mood dari satu kondisi ke kondisi lain karena pengaruh tertentu. Emosi adalah sifat khas makhluk sebab emosi menunjukkan perubahan dari satu kondisi ke kondisi yang lain dan setiap yang berubah pasti adalah makhluk. Bila Tuhan mempunyai emosi, maka berarti lemah sebab ia masih bisa diusik dan terpengaruh oleh faktor luar.
Para ahli bidah dan orang-orang yang belajar Al-Qur'an dan hadits tetapi tidak mempunyai kemampuan nalar yang cukup untuk mengolahnya dengan tepat menganggap Ahlussunnah Wal Jamaah (Asy'ariyah-Maturidiyah) sebagai aliran sesat dengan tuduhan telah menafikan berbagai nash ayat maupun hadis yang menyatakan bahwa Allah marah, senang, ridha, suka, dan tidak suka. Dalam nalar sempit mereka yang selalu menganggap Allah dapat dikiaskan dengan makhluk, sifat-sifat semacam ini seluruh menunjukkan emosi sehingga bila ini dinafikkan dari Allah, maka sama saja dengan menentang Alquran dan hadis. Dari sinilah kemudian muncul tuduhan bahwa Asy'ariyah dan Maturidiyah menafikan banyak sifat-sifat Allah.
Beberapa hari lalu seorang yang sepertinya ateis berkomentar di salah satu status saya dengan sebuah olokan bahwa Tuhan yang kita sembah adalah pribadi yang tempramental dan suka marah bila ada orang yang tidak mau menyembahnya. Dia ingin mengesankan bahwa Tuhan itu lemah dan membutuhkan manusia hingga memohon-mohon agar disembah lalu marah-marah apabila mereka menolak untuk menyembahnya.
Saya menjadi betul-betul heran mengapa orang atheis bisa lebih paham daripada sebagian orang yang belajar Al-Qur'an dan hadis bahwa emosi menunjukkan kekurangan sehingga banyak ateis yang menjadikan emosi sebagai bahan untuk mengolok Tuhan. Semua orang berakal harusnya sadar bahwa emosi adalah bentuk kekurangan dan kelemahan sehingga tidak layak untuk dijadikan sebagai sifat Tuhan. Orang-orang ultra literalis seperti Wahabi-Taymiy yang dalam buku-bukunya selalu menuduh bahwa Asy'ariyah dan Maturidiyah menafikan sifat Allah yang semacam سخط (marah), حب.(cinta/suka), فرح (gembira) dan sebagainya tidak akan mungkin menjawab olok-olok atheis seperti di atas dengan jawaban yang memuaskan. Bagaimana tidak, atheis menjadikan emosi sebagai bahan olok-olok, lalu orang-orang ultra literalis bersikukuh bahwa Allah memang punya emosi, maka makin mantaplah para atheis tersebut mengolok-olok Tuhan.
Adapun bila kita memahami maksud para ulama Ahlussunnah Wal Jamaah (Asy'ariyah-Maturidiyah), maka kita dapat menjawab olok-olok tersebut dengan sangat mudah. Imam Abul Hasan Al Asy'ari dan para ulama ahlussunnah yang lain menegaskan bahwa sifat gembira, ridha, suka, cinta dan semacamnya dalam Al-Qur'an dan hadis tidak lebih dari sekedar kehendak Allah untuk memberikan pahala bagi hamba yang dikehendakinya. Sedangkan sifat Allah yang seperti marah, tidak suka dan benci tidak lebih dari sekedar kehendak Allah untuk memberikan siksa pada hamba yang dikehendakinya juga. Dengan demikian, maka sifat-sifat tersebut bukanlah sebuah emosi tetapi sebuah kehendak mutlak yang tidak bisa diganggu gugat atau dipertanyakan.
Hakikat kejadiannya adalah Allah berkehendak menciptakan orang kafir lalu berkehendak agar orang kafir tersebut mengungkapkan kekafirannya dengan berbagai bentuk olok-olok terhadap Allah kemudian Allah juga berkehendak untuk menyiksanya di akhirat. Dan sebaliknya Allah berkehendak membuat seseorang beriman lalu berkehendak agar dia mengungkapkan keimanannya lalu berkehendak untuk memberinya pahala. Inilah wujud kehendak mutlak yang bebas dari Tuhan Yang Maha kuasa yang tidak dapat dipertanyakan oleh siapapun. Dia tidak butuh pada keimanan orang beriman dan sama sekali tidak terusik dengan kekafiran orang kafir sebab itu semua memang sesuatu yang dikehendakinya. Jadi sama sekali tidak ada emosi di sini. Semua teks yang secara literal menunjukkan "emosi Tuhan", maknanya tidak lain adalah kehendak (iradah). Kita sebagai manusia hanya bisa melihat kehendak apa yang Allah berlakukan kepada kita; bila kita "memilih" jalan kekafiran atau maksiat maka artinya Allah sedang menghendaki kita untuk disiksa atas "pilihan" tersebut. Kata "memilih" bagi tindakan manusia digunakan untuk hal yang dilakukannya secara sadar, namun itu bukan berarti bahwa pilihan manusia di luar kehendak mutlak Allah.
Jadi kalau anda ditanya apakah berarti Allah tidak punya sifat marah, benci, senang, bahagia, suka, tidak suka? Jawabannya adalah tergantung bagaimana sifat itu dimaknai. Apabila ia dimaknai sebagai kehendak mutlak Allah untuk memberikan pahala atau pun siksaan, maka Allah mempunyai semua sifat itu yang beragam istilahnya tapi satu maknanya. Apabila itu semuanya dimaknai sebagai perubahan mood di mana Allah bisa terusik atau terpengaruh dengan tindakan manusia atau faktor luar lainnya yang membuat Dia berubah dari satu kondisi ke kondisi yang lain, maka Allah tidak mempunyai sifat seperti itu sebab itu adalah cacat dan kekurangan yang tidak mungkin dimiliki oleh Tuhan.
Semoga bermanfaat.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad