Belajar Tentang Niat

Belajar Tentang Niat

Belajar Tentang Niat

Menarik mengikuti bahasan tentang niat dalam kitab Ihya` Ulumiddin. Imam al-Ghazali memang sangat piawai memberikan berbagai permisalan sehingga sesuatu yang abstrak terlihat kongkrit dan terang.

Beliau menjelaskan bahwa setiap perbuatan didahului oleh tiga hal; tahu, mau, dan mampu.

Meskipun ada makanan yang lezat, tapi orang yang tak tahu bahwa ada makanan tentu tidak akan menyantap makanan itu. Seseorang tidak akan lari dari api kalau ia tidak melihat ada api. 

Ini yang dimaksud dengan tahu.

Meskipun seseorang tahu ada makanan, tahu juga kalau makanan itu bermanfaat bagi tubuhnya, tapi ia tidak akan menyantap makanan itu kalau ia tak ada keinginan atau hasrat. Seperti halnya orang yang sakit. Meskipun makanan tersedia dan ia tahu makanan itu bergizi, ia tidak menyantapnya karena tidak ada selera atau nafsu makan. 

Ini yang dimaksud dengan mau.

Tahu dan mau saja juga belum cukup. Ada orang yang tahu ada makanan dan punya hasrat untuk memakan tapi giginya tak mampu mengunyah, pencernaannya bermasalah, dan sebagainya.

Ini yang dimaksud dengan mampu.

Tubuh tidak bergerak kecuali kalau ada kemampuan. Kemampuan tidak akan bangkit kalau tidak ada keinginan. Keinginan tidak akan muncul kalau tidak ada pengetahuan. 

Kemampuan pelayan bagi kemauan, dan kemauan mengikut pada pengetahuan. 

القدرة خادمة للإرادة والإرادة تابعة للعلم

Niat adalah sesuatu yang menghubungkan antara ilmu dan kemampuan.

Hanya saja, kemampuan yang akan bangkit untuk melakukan sebuah perbuatan adakalanya didorong oleh satu motif atau dua motif yang bergabung jadi satu. Yang dua motif ini ada sama-sama kuat, dimana kalau yang ada hanya satu, itu sudah cukup untuk melahirkan sebuah perbuatan. Hanya saja ia akan terbantu dengan adanya yang kedua. Tapi ada juga yang sama-sama lemah, dimana kalau yang ada hanya satu saja, ia tidak akan kuat untuk melahirkan sebuah perbuatan.

Jadi, ada empat kondisi dalam hal ini.

Pertama, perbuatan yang lahir karena satu motif tunggal saja. Ini seperti seseorang yang sedang dihadang oleh harimau. Ketika ia berusaha untuk lari atau menghindar, motifnya hanya satu: ingin selamat. Motif yang tunggal inilah yang disebut dengan motif murni (khalis). Perbuatan yang muncul dari motif tunggal ini disebut dengan amal yang ikhlas.

Kedua, ada dua motif. Kedua-duanya sama-sama kuat. Seandainya hanya ada satu saja sebenarnya tetap bisa melahirkan perbuatan. Tapi dengan adanya motif kedua maka menjadi lebih mudah.

Contoh dalam dunia nyata: dua orang yang saling membantu untuk mengangkat sebuah benda. Sebenarnya masing-masing dari mereka bisa mengangkat benda itu sendirian. Tapi dengan adanya orang kedua, maka pekerjaan mengangkat terasa lebih ringan.

Contoh dalam ketaatan: ada seorang kerabat minta bantuan. Kerabat ini orang miskin. Maka kita pun membantunya. Karena kekerabatan dan kemiskinannya. Artinya, kalau pun ia bukan kerabat kita, tapi ia orang miskin, kita akan tetap membantunya. Atau ia orang kaya tapi ia kerabat kita, maka kita juga akan membantunya.

Imam al-Ghazali menyebut niat kedua ini dengan istilah rafiq.

Ketiga, ada dua motif. Tapi keduanya sama-sama lemah. Jika sendirian, ia tidak akan kuat melahirkan sebuah perbuatan.

Contohnya: dua orang yang sama-sama lemah saling membantu mengangkat sebuah benda. Kalau sendirian ia tidak akan mampu mengangkat benda itu.

Contoh dalam ketaatan: seorang kerabat minta uang, tapi ia kaya. Atau, seorang miskin minta sedekah tapi ia bukan kerabatnya. Maka ia tidak memberinya. Ia baru akan memberi uang atau sedekah kalau berkumpul dua hal ini; kerabat dan miskin.

Contoh lain: seseorang bersedekah di depan orang banyak dengan tujuan mendapat pahala sekaligus pujian. Artinya, kalau tidak ada orang yang melihat sehingga ia tidak akan dipuji maka ia tidak akan bersedekah ‘sekedar’ untuk mengharapkan pahala. 

Begitu juga sebaliknya, kalau ada orang yang fasik minta sedekah yang berarti ia tidak akan mendapat pahala, maka ia juga tidak akan bersedekah hanya untuk dipuji manusia. Tapi ketika kedua motif ini berkumpul; dapat pahala dan dipuji, maka ia mau bersedekah.

Niat kedua ini disebut dengan musyarik.

Keempat, ada dua motif. Yang satu tetap bisa melahirkan perbuatan meskipun tanpa bantuan yang kedua. Tapi dengan adanya bantuan yang kedua, sebuah perbuatan terasa lebih ringan dan mudah untuk dilakukan.

Contoh dalam keseharian: seorang yang kuat dibantu oleh orang yang lemah mengangkat sebuah benda. Tidak ada pun bantuan orang lemah ini, si kuat tetap bisa mengangkat benda itu sendirian. Tapi dengan adanya bantuan si lemah, proses mengangkat benda terasa lebih mudah dan ringan.

Contoh dalam ketaatan: seseorang punya wirid zikir atau kebiasaan bersedekah. Ketika ia akan melakukan zikir atau mengeluarkan sedekah, kebetulan ada orang yang melihat. Akhirnya wirid zikir itu terasa lebih mudah (bersemangat) untuk dilakukan, dan sedekah itu terasa lebih ringan untuk dikeluarkan. Sebenarnya, tidak pun ada orang yang melihat, ia akan tetap berzikir atau bersedekah. Tapi adanya orang yang melihat, membuat amalnya terasa lebih ringan dan mudah dikerjakan.

Niat yang kedua ini disebut dengan mu’in.

Dari keempat kondisi ini hanya kondisi pertama yang bisa disebut sebagai amal yang ikhlas.

Tapi apakah amal dalam tiga kondisi lainnya langsung tertolak? Ada pembahasan lain untuk menjawabnya.

والله أعلم وأحكم

[YJ]

Sumber FB Ustadz : Yendri Junaidi

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Belajar Tentang Niat - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terbaru