“Agar Yahudi Tahu Bahwa Dalam Agama Kita Ada Kelapangan”
Ketika beberapa orang Ahbasy melakukan sebuah perayaan dengan cara bermain pedang di masjid Nabi Saw dengan penuh gembira, beliau tidak melarang mereka. Bahkan beliau bersabda:
لِتَعْلَمَ يَهُودُ أَنَّ فِي دِينِنَا فُسْحَةً؛ إِنِّي أُرْسِلْتُ بِحَنِيفِيَّةٍ سَمْحَةٍ
“Agar Yahudi tahu bahwa dalam agama kita ada kelapangan. Sesungguhnya aku diutus dengan hanifiyyah (sesuai dengan fitrah) yang toleran.” (HR. Ahmad)
Sabda Nabi Saw ini menyiratkan bahwa seolah ada ‘tuduhan’ atau anggapan dari penganut agama lain, khususnya Yahudi, bahwa Islam itu agama yang kaku, ‘terlalu serius’, dan berat untuk diamalkan.
Sebagaimana diketahui, Rasulullah Saw hidup di Madinah berdampingan dengan berbagai agama dan kepercayaan. Dalam banyak kesempatan Rasulullah Saw ingin membuktikan bahwa Islam bukanlah agama yang kaku dan tertutup. Ini juga yang ditampakkan oleh para sahabat beliau sepeninggal beliau. Mereka menghargai setiap ekspresi kebahagiaan yang ditampakkan oleh masyarakat sebagai wujud perbauran dengan masyarakat sekitar dalam nuansa sosial kemanusiaan yang harmonis.
Imam Khatib al-Bagdadi meriwayatkan bahwa Nu’man bin Marzuban, yang merupakan kakek Imam Abu Hanifah, menghadiahkan faludzaj (sejenis makanan yang sangat lezat) kepada Imam Ali bin Abi Thalib dalam rangka memperingati hari Nayruz. Nayruz adalah tahun baru bagi bangsa Persia. Menerima hadiah itu, Imam Ali berkata:
نَوْرِزُونَا كُلَّ يَوْمٍ
“Nayruz-kan kami setiap hari.”
Lebih dari itu, sahabat Nabi Saw, sang pembebas Mesir, Amru bin Ash yang menjadi Gubernur Mesir kala itu, setiap tahun mendorong masyarakat Mesir untuk keluar rumah dan ikut dalam peringatan Syam Nasim yang merupakan perayaan tahunan bangsa Mesir, terlepas dari warna keagamaan yang melekat pada perayaan itu. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abdul Hakam dan Futuh Mesir dan Maghrib.
Tulisan ini tidak untuk mengajak merayakan tahun baru masehi. Karena hal ini memang menjadi khilafiyah di kalangan ulama, antara yang melarang dan membolehkan. Tapi sebagian orang terlalu berani mengatakan bahwa merayakan tahun baru masehi adalah kafir berdasarkan hadits man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum. Ada juga yang mengatakan, meskipun perayaan itu dilakukan dalam bentuk zikir dan doa bersama, tetap saja haram. Bahkan sekedar mengucapkan ‘Selamat Tahun Baru’ saja, oleh sebagian orang juga haram.
Dalam kitabnya Asna Mathalib, Syekh Zakariya al-Anshari mengatakan:
قال القمولي: لم أر لأحد من أصحابنا كلامًا في التهنئة بالعيد والأعوام والأشهر كما يفعله الناس، لكن نقل الحافظ المنذري عن الحافظ المقدسي أنه أجاب عن ذلك: بأن الناس لم يزالوا مختلفين فيه، والذي أراه أنه مباح لا سُنّة فيه ولا بِدْعَة. انتهى. وأجاب عنه شيخنا حافظ عصره الشهاب ابن حجر بعد اطلاعه على ذلك: بأنها مشروعة، واحتجَّ له بأن البيهقي عقد لذلك بابًا فقال: (باب ما روي في قول الناس بعضهم لبعض في يوم العيد تقبل الله منا ومنك)، وساق ما ذكره من أخبار وآثار ضعيفة، لكن مجموعها يُحْتَجُّ به في مثل ذلك
Al-Qumuli berkata: “Saya tidak menemukan pendapat dari sahabat-sahabat kita (kalangan Syafi’iyyah) tentang hukum mengucapkan selamat hari raya, tahun baru, dan bulan baru sebagaimana dilakukan banyak orang. Akan tetapi al-Hafizh al-Mundziri menukil dari al-Hafizh al-Maqdisi bahwa ia berkata: “Orang-orang masih berbeda pendapat tentang hal itu. Saya sendiri berpendapat bahwa hal itu mubah, tidak sunnah, tidak pula bid’ah.”
Syekh Zakariya melanjutkan, “Guru kami Syekh Syihabuddin Ibnu Hajar setelah menelaah masalah ini menjelaskan bahwa hal ini masyru’ (disyariatkan). Beliau beralasan, Imam Baihaqi menulis satu bab yang ia beri judul, “Hadits/Atsar yang diriwayatkan tentang ucapan: taqabbalallahu minna wa minka di hari raya.” Kemudian ia menyampaikan hadits-hadits dan atsar tentang itu yang meskipun dha’if tapi secara keseluruhan bisa dijadikan sebagai hujjah.”
Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj mengatakan:
وتُسَنُّ التهنئة بالعيد ونحوه من العام والشهر على المعتمد مع المصافحة
“Disunnahkan mengucapkan selamat hari raya dan semisalnya seperti tahun dan bulan baru disertai dengan bersalaman.”
Dalam Fatawa Fiqhiyyah, Imam Ibnu Hajar membagi keikutsertaan (musyarakah) merayakan ‘ied non-muslim kepada dua jenis. Pertama, yang dimaksudkan untuk meniru mereka dalam akidah dan syiar agama yang bertentangan dengan pokok-pokok keislaman, dan ini terlarang. Kedua, yang tidak dimaksudkan untuk meniru mereka sama sekali, maka ini tidak apa-apa.
Syekh Dr. Syawqi ‘Allam, mantan Mufti Mesir mengatakan:
والاحتفالات بأعياد رأس السنة الميلادية قد اصطبغت بالصبغة الاجتماعية، وصارت مناسبة قومية، وتجلت فيها معاني تقوية الأواصر الإنسانية، وهي وإن ارتبطت بفكرة دينية في الأصل، إلا أنَّ المشاركة فيها لا تستلزم الإقرار بشيء من الخصوصيات الدينية التي قد لا توافق ثوابت العقيدة الإسلامية، مع مراعاة البُعْد عمَّا يحرِّمُهُ الشرع اتفاقًا أو تأباه الأخلاق الكريمة والأعراف السليمة
“Merayakan tahun baru masehi bercorak sosial kemasyarakatan dan sudah menjadi perayaan nasional untuk memperkuat hubungan kemanusiaan. Meskipun pada asalnya ia memiliki akar keagamaan namun ikut merayakan hal itu tidak berarti mengakui kekhasan yang bersifat agama yang pernah melekat padanya yang boleh jadi tidak sesuai dengan hal-hal pokok dalam akidah Islam, selama tetap menjauhi apa yang diharamkan oleh syariat, nilai-nilai akhlak yang mulia serta adat yang luhur.”
والله أعلم وأحكم
[YJ]
Sumber FB Ustadz : Yendri Junaidi